Kehidupan dan Kebudayaan Suku Sakai
Kehidupan dan Kebudayaan Suku Sakai
Kehidupan suku Sakai yang suka
berpindah-pindah tempat ini tentu akan meninggalkan suatu kebudayaan yang cukup
menarik di tempat-tempat yang pernah ditinggalinya. Hal ini bisa dilihat dari
adanya benda peninggalan kebudayaan Sakai yang biasa digunakan untuk membantu
mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka di daerah pedalaman.
Biasanya benda-benda yang dibuat
oleh suku ini terbuat dari bahan baku yang berasal dari alam secara murni.
Fungsi benda-benda tersebut juga masih sederhana dan digunakan untuk membantu
mempermudah pekerjaan mereka. Salah satu contoh benda peninggalan suku Sakai
yang menambah kekayaan budaya di Indonesia adalah sebagai berikut:
- Timo
Timo adalah suatu wadah yang
dibuat dengan bahan dari kulit hewan, yaitu kerbau. Kulit kerbau ini harus
dikeringkan terlebih dahulu, bagian sisi timo berbentuk lingkaran dan terbuat
dari rotan. Timo biasanya digunakan oleh suku Sakai sebagai wadah untuk
menampung madu dari hutan.
- Gegalung Galo
Orang Sakai juga membuat alat
pertanian yang bernama gegalung galo. Benda ini merupakan suatu alat yang
terbuat dari bahan bambu dan batang pohon. Gegalung galo digunakan sebagai alat
penjepit ubi manggalo agar dapat diambil sari patinya.
Sedangkan untuk berburu hewan,
biasanya suku Sakai menggunakan alat berupa jerat dan perangkap yang dipasang
di hutan.
- Pakaian Orang Sakai
Suku ini membuat pakaian yang
dikenakan sehari-hari dari bahan alam secara murni. Pakaian Suku Sakai umumnya
terbuat dari kulit kayu yang diolah sedemikian rupa. Pakaian ini digunakan oleh
masyarakat Sakai untuk bertahan hidup secara nomaden.
- Hukum Adat Sakai
Rumah adat menjadi bagian penting
bagi sebuah suku, karena rumah adat menjadi simbol pelestarian kebudayaan,
termasuk pada Suku Sakai. Rumah adat dari suku ini berjenis rumah panggung yang
awalnya terbuat dari kayu dari pohon ulin.
Namun seiring perkembangan zaman,
saat ini rumah adat Suku Sakai telah terbuat dari bahan besi sebab kayu ulin
saat ini sudah mulai langka.
Suku Sakai memiliki hukum yang
tegas mengenai beberapa hal, misalnya hukum mengenai penebangan pohon.
Masyarakat Sakai yang diketahui menebang pohon di tanah hutan ulayat akan
diberi hukuman berupa denda uang yang setara dengan perhiasan emas dalam ukuran
berat tertentu.
Semakin tua usia pohon yang
ditebang maka denda yang harus dibayarkan juga akan semakin besar. Sedangkan
ketentuan mengenai besar denda yang harus dibayar oleh penebang pohon akan
ditentukan pada saat dilaksanakan rapat adat.
Namun jika penebang pohon di
wilayah kewenangan (ulayat) adalah orang-orang di luar Suku Sakai, maka
orang-orang tersebut akan diusir dan bahkan bisa saja dibunuh. Oleh karena itu,
hingga sekarang tidak ada seorang pun yang berani menebang pohon di hutan
ulayat karena adanya sanksi dari hukum adat Sakai yang begitu tegas.
Hutan ulayat sendiri merupakan
hutan adat warisan dari Suku Sakai yang saat ini luasnya semakin mengecil.
Adanya hukum adat yang bersifat tegas mengenai penebangan pohon sebenarnya
merupakan upaya yang dilakukan oleh Suku Sakai untuk mempertahankan wilayah tanah
warisannya tersebut
Hukum adat sekaligus menjadi cara
untuk mengurangi pengurangan luas lahan. Umumnya lahan hutan ulayat tersebut
diambil untuk kegiatan perkebunan sawit dan kegiatan industri lainnya.
Selain hukum adat, tentunya suku
Sakai juga beberapa macam tradisi atau adat istiadat. Masyarakat Sakai
mengadakan ritual atau upacara tersendiri untuk kelahiran dan kematian serta
untuk pernikahan.
Suku Sakai memang termasuk suku
yang belum banyak diketahui dan dikenal oleh masyarakat Indonesia secara luas.
Sebab pada awalnya suku ini tergolong sebagai suku terasing dengan pola hidup
sederhana yang jauh dari perkembangan dan kemajuan teknologi.
Namun dengan kemajuan zaman dan
moderinasis, tampaknya Suku Sakai mulai mengalami perkembangan. Hal ini terjadi
karena semakin banyak pula masyarakat pendatang yang mendiami kawasan pemukiman
Sakai, sehingga penduduk dan masyarakatnya menjadi semakin heterogen (beragam).
Di samping itu, dampak dari
wilayah hutan di Kepulauan Riau yang semakin terkikis juga mengakibatkan Suku
Sakai terpaksa kehilangan lahan untuk bertanam sehingga mereka tidak dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Untuk bertahan hidup, akhirnya
Suku Sakai harus berusaha untuk mencari kerja di tempat lain dan menetap di
wilayah perkampungan lain, sehingga tidak lagi menjalani segala macam secara
tradisional.
https://rimbakita.com/
Komentar
Posting Komentar